Kelirunya Pengamat Soal Pembangunan Pertanian
By Admin
nusakini.com - Berbagai terobosan kebijakan pembangunan pertanian di era pemerintahan Jokowi-JK disusun secara jangka pendek dan jangka panjang.
Dikutip dari tulisan Suwandi pada situs Kompasiana, Selasa (3/5/2016), Adapun terobosan kebijakan pembangunan pertanian antara lain:
1) Revisi Peraturan Presiden Nomor 172/2014 tentang tender menjadi penunjukkan langsung atau e-katalog.
2) Melakukan refocusing anggaran di tahun 2015 sebesar Rp 4,1 triliun dan di tahun 2016 Rp 4,3 triliun yang diprioritaskan untuk peningkatan produksi pada tujuh komoditas strategis yaitu padi, jagung, kedelai, daging sapi, cabai, tebu, dan bawang merah.
3) Memberikan bantuan benih bukan di lahan existing tetapi pada lahan yang belum mendapatkan bantuan.
4) Melakukan rehabilitasi irigasi tersier sebesar 2,6 juta ha.
5) Optimalisasi lahan sebanyak 932 ribu ha.
6) Menyalurkan bantuan alat dan mesin pertanian sebanyak 65,431 unit atau naik 617 persen dari tahun sebelumnya.
7) Dalam upaya meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani, terdapat 2 aspek untuk melakukan akselerasi peningkatan produksi dan kualitas produk, yaitu :
a) Pada aspek hulu, dengan memberi kemudahan agro-input berupa subsidi pupuk, benih dan berbagai bantuan, membangun infrastruktur irigasi dan lahan, mekanisasi untuk efisiensi produksi dan mutu hasil, pelatihan, penyuluhan, asuransi usaha tani dan lainnya.
b) Pada aspek hilir, dilakukan pengolahan hasil untuk meningkatkan nilai tambah, pengaturan tata niaga, serta mengendalikan impor dan mendorong ekspor. Pengaturan tata niaga dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah atau beras yang diikuti Program Menteri Pertanian berupa Sergab (Serap Gabah) petani oleh Bulog telah berdampak langsung pada stabilisasi harga gabah petani.
Kebijakan ini secara perlahan membuahkan hasil dengan dirilisnya data BPS yang mengatakan, perkembangan indeks harga konsumen (IHK) pada April 2016, terjadi deflasi sebesar 0,45 persen. Penyumpang terbesar deflasi ini adalah dari kelompok pangan yang mencapai angka 0,94 persen.
Oleh karena itu, pandangan yang disampaikan tiga pengamat pertanian pada Surat Kabar Kompas halaman 18 (2/5/2016) yang mengatakan :
"Pembangunan pertanian memunculkan beragam paradoks. Transformasi struktural pertanian tidak berjalan baik. Pada saat yang sama, harga komoditas pertanian yang tinggi di tingkat konsumen tidak menjadikan petani terpacu. Populasi petani juga terus mengalami penyusutan".
Menurut yang kutip dari tulisan Suwandi pada situs Kompasiana, Selasa (3/5/2016), menyadarkan publik bahwa:
1) Anggapan para pengamat adalah keliru yang menuding produksi pangan saat ini turun dan program pertanian saat ini pun mirip di era orde baru dengan impor meningkat 346 persen.
2) Anggapan pengamat yang menuding pemerintah saat ini tidak membuat desain jangka panjang, khususnya pertanian pangan, tetapi bersifat ad hoc pada padi, jagung dan kedelai adalah keliru. Faktanya, data di atas menunjukkan terjadi peningkatan produksi pangan yang tidak hanya pada padi, jagung dan kedelai.
3) Tudingan program yang dijalankan pemerintah saat ini sama persis bahkan hasil dari program pemerintah saat ini juga mirip seperti sepuluh tahun sebelumnya adalah pandangan yang keliru juga dan membodohi publik.(if/mk)